Beranda | Artikel
Dimakruhkannya Duduk Ihtiba Saat Khutbah Jumat
2 hari lalu

Dimakruhkannya Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat adalah bagian dari ceramah agama dan kajian Islam ilmiah dengan pembahasan kitab Riyadhus Shalihin Min Kalam Sayyid Al-Mursalin. Pembahasan ini disampaikan oleh Ustadz Mubarak Bamualim, Lc., M.H.I. pada Selasa, 15 Jumadil Akhir 1446 H / 17 Desember 2024 M.

Kajian Tentang Dimakruhkannya Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat

Kita sampai pada bab tentang dimakruhkannya duduk ihtiba’. Duduk ihtiba’ adalah posisi di mana seseorang mengaitkan kedua tangannya di sekitar lututnya, sementara betisnya didirikan, lalu ditahan dengan kedua tangan. Posisi ini dimakruhkan ketika seseorang sedang mendengarkan khutbah pada hari Jumat.

Posisi duduk ini disebutkan secara rinci sebagai berikut: seseorang duduk dengan betis ditegakkan, kedua lututnya dirangkul, dan tubuhnya agak condong ke belakang.

Hadits yang dibawakan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala berasal dari Mu’adz bin Anas Al-Juhani Radhiyallahu ‘Anhu. Ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أنَّ النبيَّ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنِ الحِبْوَةِ يَومَ الجُمعَةِ وَالإمَامُ يَخْطُبُ

“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang duduk ihtiba’ pada hari Jumat ketika imam sedang menyampaikan khutbahnya.” (HR. Abu Dawud, hadits ini hasan)

Hikmah Larangan Duduk Ihtiba’ Saat Khutbah Jumat

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullahu Ta’ala telah menjelaskan hikmah di balik larangan duduk ihtiba’ pada hari Jumat ketika khatib sedang menyampaikan khutbah. Hikmah tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Menyebabkan kantuk. Duduk seperti ini dapat membuat seseorang mudah mengantuk. Jika seseorang mengantuk, ia tidak bisa mendengarkan khutbah secara sempurna, bahkan kehilangan konsentrasi. Kantuk, apalagi tidur, akan mengurangi perhatian dan menghilangkan sebagian ingatan.
  2. Kehilangan konsentrasi. Saat mendengarkan khutbah atau ceramah, seseorang seharusnya berkonsentrasi penuh agar dapat memahami pesan yang disampaikan oleh khatib. Duduk ihtiba’ mengganggu kemampuan ini.
  3. Berpotensi membatalkan wudhu. Posisi duduk ihtiba’ memudahkan keluarnya angin dari dubur seseorang, yang dapat membatalkan wudhu tanpa disadari.

Dengan penjelasan ini, umat Islam disarankan untuk menghindari duduk ihtiba’ saat mendengarkan khutbah Jumat agar dapat menjalankan ibadah dengan khusyuk dan wudhu tetap terjaga.

Ketika Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang seseorang duduk dalam posisi ini saat imam sedang berkhutbah, larangan tersebut memiliki maksud yang jelas. Di baliknya terdapat anjuran agar setiap muslim yang datang pada hari Jumat benar-benar mendengarkan dan berkonsentrasi terhadap apa yang disampaikan oleh khatib.

Nasihat dan khutbah yang disampaikan oleh khatib bertujuan untuk memberikan pelajaran dan hikmah bagi para pendengar. Oleh karena itu, sangat penting mendengar dengan seksama dan mengambil manfaat dari apa yang disampaikan.

Bab Larangan Memotong Rambut dan Kuku bagi yang Berniat Berqurban di Bulan Dzulhijah

Bab berikutnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam An-Nawawi Rahimahullah, berbicara tentang larangan bagi seseorang yang telah memasuki 10 hari pertama bulan Zulhijah dan berniat untuk berqurban. Judul bab ini adalah larangan bagi orang yang memasuki sepuluh hari pertama bulan Zulhijah dan ingin berqurban untuk mengambil sesuatu dari rambut atau kukunya sampai ia menyembelih qurban.

Larangan ini sering dibahas oleh para ustadz karena berkaitan dengan adab dan tata cara pelaksanaan ibadah qurban. Jika seseorang telah berniat untuk berqurban di hari Idul adha, maka ketika hilal atau bulan sabit pertama bulan Dzulhijah muncul—yang menandakan masuknya bulan tersebut—ia dilarang untuk memotong rambut, mencukur, atau memotong kukunya.

Anjuran ini menunjukkan bahwa sebelum tanggal 1 Dzulhijah tiba, seperti di akhir bulan Dzulqaidah (misalnya pada tanggal 29 atau 30 Dzulqaidah, tergantung pada jumlah hari di bulan tersebut), seseorang sebaiknya sudah memotong rambut dan kukunya. Dengan demikian, ia dapat memasuki bulan Dzulhijah dalam keadaan yang sesuai dengan adab pelaksanaan qurban.

Larangan Memotong Rambut dan Kuku bagi Orang yang Berniat Berqurban

Hal yang perlu dipahami dalam masalah ini adalah bahwa larangan memotong kuku dan rambut hanya berlaku bagi orang yang akan berqurban, yaitu mereka yang berniat memberikan hewan qurban untuk disembelih. Larangan ini tidak berlaku bagi orang yang tidak berniat berqurban.

Sebagai contoh, dalam sebuah keluarga, jika ayah berniat untuk berqurban dengan uangnya sendiri, maka ia dilarang memotong kuku atau rambutnya setelah masuknya bulan Dzulhijah, yang ditandai dengan munculnya hilal tanggal 1 Dzulhijah. Namun, anggota keluarga lainnya, seperti istri atau anak-anaknya, diperbolehkan memotong kuku atau rambut mereka karena mereka bukan pihak yang mengeluarkan biaya untuk qurban tersebut.

Begitu juga dalam kasus tujuh orang yang bergabung untuk membeli seekor sapi untuk qurban di hari Idul adha. Ketujuh orang tersebut dilarang memotong kuku atau rambut mereka setelah munculnya hilal tanggal 1 Dzulhijah karena mereka termasuk dalam pihak yang berqurban. Namun, keluarga mereka, seperti istri dan anak-anak mereka, tidak terkena larangan ini.

Dengan demikian, larangan ini hanya berlaku bagi orang yang akan berqurban, dan larangan tersebut dimulai sejak munculnya hilal atau bulan sabit tanggal 1 Dzulhijah.

Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah ketika membahas larangan memotong rambut dan kuku bagi orang yang berniat berqurban menjelaskan bahwa jika seseorang melanggar larangan ini—dengan memotong kuku atau memendekkan rambutnya setelah masuk tanggal 1 Dzulhijah—maka hendaknya ia segera beristighfar dan memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Larangan ini menjadi pembahasan di kalangan ulama, dimana terdapat perbedaan pendapat. Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan ini bersifat haram, sementara sebagian lainnya menganggapnya sebagai makruh. Namun, untuk lebih berhati-hati, bagi mereka yang berniat menyembelih hewan qurban, sebaiknya menghindari memotong rambut atau kuku setelah masuknya tanggal 1 Dzulhijah.

Larangan ini adalah salah satu perintah dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang hendaknya diikuti sebagai bentuk kehati-hatian dan ketaatan.

Hadits yang dibawakan oleh Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah adalah hadits Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu ‘Anha, beliau berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ كَانَ لَهُ ذَبْحٌ يَذْبَحُهُ، فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ، فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا، حَتَّى يُضَحِّيَ

“Barangsiapa yang memiliki binatang qurban untuk berqurban, maka jika telah muncul bulan sabit (awal Dzulhijah), janganlah ia mengambil sedikit pun dari rambut atau kuku-kukunya sampai hewannya disembelih.” (HR. Muslim)

Waktu Larangan

Larangan ini berlaku sejak munculnya bulan sabit tanggal 1 Dzulhijah, yaitu setelah Maghrib pada malam itu, hingga hewan qurban disembelih. Setelah hewan qurban disembelih, barulah seseorang diperbolehkan memotong kuku atau memendekkan rambutnya. Durasi larangan ini kira-kira berlangsung selama 10 hari, hingga penyembelihan selesai.

Pelajaran dari Hadits

Hadits ini mengajarkan larangan bagi orang yang berniat berqurban untuk tidak mengambil rambut atau kuku setelah masuknya tanggal 1 Dzulhijah. Oleh karena itu, seseorang yang berencana berqurban hendaknya memperhatikan kalender untuk mengetahui kapan bulan Dzulhijah dimulai. Selain itu, di Indonesia, biasanya Kementerian Agama menetapkan tanggal 1 Dzulhijah berdasarkan keputusan resmi.

Maka dari itu, penting bagi seseorang yang ingin berqurban untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar sempurna serta terhindar dari pelanggaran larangan ini. Meskipun terdapat perbedaan pendapat di antara ulama mengenai hukum larangan ini—apakah haram atau hanya makruh—sebagai seorang muslim, hendaknya kita berhati-hati dan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download dan simak mp3 kajian kajian yang penuh manfaat ini.

Download MP3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54805-dimakruhkannya-duduk-ihtiba-saat-khutbah-jumat/